Sabtu, 30 Januari 2021

MAAFKAN AKU BELUM SEPENUHNYA MEMAHAMI DIRIMU...

 

Tidak bisa dipungkiri, bahwa setiap orang memiliki gaya belajar masing-masing yang bisa berbeda dan mungkin juga bisa sama dengan lainnya.  Sebagai seorang guru, tentu kita bisa mengamati gaya belajar anak-anak didik kita.

  Sesekali perhatikanlah, ada beberapa anak yang saat menjalani proses pembelajaran saling berbeda satu dengan lainnya.  Ada yang belajar sambil mulutnya bergerak-gerak seperti melantunkan lagu atau sekedar bergumam.  Ada juga yang sangat terganggu jika temannya terdengar berisik.  Juga terlihat anak yang sangat bergairah saat pembelajaran yang disertai praktik atau demo.  Tidak sedikit pula anak yang langsung nervous ketika maju untuk menyajikan tugas dalam bentuk presentasi.

Melihat kondisi seperti itu, menandakan bahwa anak-anak didik kita memiliki kecenderungan melakukan respon atas materi pembelajaran yang sedang mereka ikuti dengan kenyamanan mereka masing-masing.  Nah itulah yang biasa kita kenal dengan gaya belajar.  Jadi bisa kita artikan bahwa gaya belajar adalah kecenderungan atau ciri khas yang dimiliki oleh setiap orang dalam merespon terhadap pembelajaran yang diterimanya.

Namun sayangnya, masih banyak guru-guru yang sekedar mengetahui gaya belajar anak tetapi luput untuk memfasilitasi gaya belajarnya tersebut.  Berdasarkan pengalaman saya sendiri yang sudah mengajar mendekati 20 tahun, hanya anak-anak yang memiliki gaya belajar visual yang lebih banyak diakomodir oleh sang guru. Mengapa? Hampir sebagian besar guru ketika mengajar selalu menulis di papan tulis, serta mengingatkan anak didiknya ketika mengeluarkan bunyi-bunyian dari mulutnya, atau menegur anak didiknya ketika terus bergerak dan berpindah posisi.  Tanpa kita sadari bahwa mereka melakukan itu adalah karena memang merasa nyaman saat belajar dengan kondisi seperti itu. Tentu saja pergerakan dan bunyi-bunyian yang dimaksud masih batas kewajaran.  Sementara kita sebagai guru berharap kelas selalu tenang, rapi dan teratur, keadaan yang sangat digemari oleh anak-anak yang bergaya belajar visual. Karena itu, berdasarkan catatan pribadi yang saya miliki, hampir sebagian besar anak-anak yang memiliki nilai terbaik atau di atas rata-rata kelasnya adalah anak-anak yang memiliki ciri-ciri gaya belajar visual.  Hal ini bukan berarti gaya visual lebih baik, tetapi lebih disebabkan karena sang guru tanpa sadar telah mengakomodir kecenderungan belajar gaya visual dibandingkan auditori dan kinestetik.  Sehingga potensi anak-anak auditori dan kinestetik tidak tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya.

Tidak mudah memang mengakomodir gaya belajar anak-anak tipe audio ataupun kinestetik.  Karena sang guru membutuhkan persiapan pengajaran secara matang.  Bagaimana mengemas pembelajaran dengan mengikutsertakan pergerakan anggota badan anak, atau membuat pembelajaran berupa rekaman.  Selain itu, bentuk-bentuk penugasan yang harus dikerjakan anak-anak  dan diserahkan kepada guru mereka masih dominan dalam bentuk tulisan.  Jarang sekali anak-anak diberikan kebebasan untuk memilih bagaimana cara mereka untuk mengerjakan tugas yang diberikan gurunya. 

Sebagai ilustrasi, misalkan ada penugasan dari guru berupa menjelaskan proses terjadinya gerhana matahari.  Bagi anak yang visual tentu sangat mudah menjelaskannya dengan cara menulisnya secara panjang lebar.  Tapi bagaimana dengan yang kinestetik dan audio?  Mungkin anak yang bergaya belajar audio berharap dirinya diperbolehkan untuk mengerjakan tugas tersebut dengan cara merekam suaranya untuk menjelaskan terjadinya gerhana matahari.  Juga untuk anak bergaya belajar kinestetik, mungkin mereka lebih nyaman jika diperbolehkan membuat jawabannya dalam bentuk gambar/komik tentang gerhana matahari.  Itu hanya sepenggal ilustrasi saja, tentu masih banyak lagi kenyataan yang terjadi.

Pembelajaran Jarak Jauh yang sedang berlangsung ini, memaksa guru untuk bisa memahami situasi dan kondisi serta psikologis anak-anak didik.  Mengingat tidak saling bertemu secara langsung sehingga sulit untuk sekedar “mendeteksi” gaya belajar mereka. 

Sebagai seorang pendidik, sayapun terus berusaha untuk memperbaiki atas “dosa-dosa” yang telah dilakukan berkaitan dengan proses pembelajaran selama ini.  Semoga tulisan ini bermanfaat minimal untuk diri sendiri sebagai refleksi atas pembelajaran yang terdahulu.  Sedikit memperbaiki masih lebih baik daripada tidak sama sekali.  Tiada sesuatu yang terlambat untuk menuju perbaikan.

 

“Tidak ada murid yang bodoh, yang ada hanyalah murid yang belum terakomodir gaya belajarnya.  Tidak ada guru yang tidak bisa mengajar, yang ada hanyalah guru yang belum mengembangkan kreatifitasnya”.

 

#Salam Guru Belajar

#Gurubelajardanmengajar

#isantpenyair

 

 

 

0 komentar:

Posting Komentar