"Ma, Alya lapar ma." Terdengar suara lirih dan merintih diselingi isak tangis yang tertahan. Nampak seorang gadis kecil bersandar di paha ibunya sambil telapak tangannya mengelus-elus perutnya yang terlihat kempis.
Segera kudekati anakku sambil berkata," Sabar ya nak, sebentar lagi waktu berbuka. Insya Allah kamu kuat dan kita berbuka bersama."
Peristiwa itu terjadi pada awal bulan puasa ramadan, persisnya hari pertama puasa tahun ini. Memang tahun-tahun sebelumnya anak bungsuku ini belum mampu berpuasa secara penuh seharian.
Tiga hari pertama menjalani puasa memang perjuangan berat bagi dirinya. Namun, kami mencoba untuk melatih menanamkan kesadaran dan tanggungjawab sebagai seorang muslim.
Masih teringat bagaimana anakku, Alya, menjalani sahur pertama dengan susah payah. Saat sahur pertama, aku menggendong memindahkannya dari kamar tidur ke ruang tamu untuk makan sahur. Belum lagi ia minta agar aku menyuapinya. Alya memang lebih sering bermanja dengan aku, papanya. Saat kakaknya seusia dia, tidak semanja dirinya.
Alhamdulillah, sepekan berlalu Alya semakin mampu beradaptasi dengan suasana puasa ramadan. Aktivitasnya mulai berjalan seperti biasa, tidak seperti awal-awal puasa yang banyak mengeluh lapar dan memilih tidur daripada bermain. Kini dia bahkan mempunyai kebiasaan baru yakni menunggu aku, papanya, di depan pagar rumah saat pulang dari masjid. Bahkan terkadang berlari menjemputku meski masih jauh dari rumah.
Semoga Allah teguhkan niat dan kuatkan jasmanimu agar bisa menunaikan ibadah puasa ini dengan optimal. Kau hebat nak, diusia menjelang sembilan tahun sudah berusaha bertanggungjawab terhadap keimananmu. Papa, mama, dan kakak sangat bangga padamu.
"Melatih anak berpuasa sejak kecil berarti menanamkan tanggungjawab keimanan pada dirinya." (isantpenyair)
0 komentar:
Posting Komentar